Memilih Hidup di Ibu Kota atau di Pedesaan
![]() |
source : www.google.com |
Tentu anda pernah menonton serial drama korea di tahun 2004 yang mengisahkan percintaan segitiga antara seorang perempuan cantik dengan dua lelaki gagah yang bersaudara sebagai paman dan keponakan. Pada saat itu drama berjudul "Lovers In Paris" itu menginsprirasi banyak para bapers untuk pergi ke pedesaan guna menemukan gadis desa sebagai penyembuh lara atas cinta yang tak kesampaian. Menetap di desa dan menemukan hakikat hidup yang membahagiakan.
Menarik
bukan membandingkan pilihan hidup kita untuk tetap tangguh mengejar ambisi,
materi dan kesuksesan dalam hidup. Tentu dengan merantau ke Ibukota segala yang
kita cita-citakan akan lebih mudah terwujud. Akan tetapi, hidup di Ibukota
tentu tak kan semudah seperti yang dibayangkan. Tekanan pekerjaan, rutinitas
yang tak ada henti-hentinya, kemacetan dan juga polusi udara menjadi tantangan
sendiri yang harus ditaklukkan. Tengoklah para artis, pengusaha muda,
birokrat-birokrat muda, para kaum urban tak berketerampilan menantang
keangkuhan Jakarta (baca : Ibu Kota). Jika mereka bisa bertahan maka gelimang
materi, ketenaran dan kekuasaan akan mereka raih.
![]() |
source : www.google.com |
Sementara
di sisi lain, tengoklah para abdi negara yang mengabdikan dirinya dipelosok-pelosok
desa jauh dari hingar bingar dunia. Para guru dan bidan desa. Para penjual mie
ayam dan sejenisnya di pinggir-pinggir pedesaan. Atau para buruh tani dan kuli
serabutan. Mereka ibarat senar-senar gitar yang mewujudkan harmoni antara alam
dengan manusia. Bukanlah ambisi, materi atau ketenaran yang mereka raih. Melainkan
ketenangan, kedamaian, kesederhanaan dan juga penerimaan.
Tapi
entahlah itu sekedar mata ini memandang. Bukan belati yang menhujam
masing-masing jiwa yang hidup di dunia. Mungkin juga ada kedamaian dan cinta di
tengah hiruk pikuk Ibukota. Mungkin pula ada kegersangan, amarah dan nafsu yang
membara diantara gesekan suara dedaunan.
Komentar
Posting Komentar