BURUK MUKA CERMIN DIBELAH

source : www.google.com


Pernahkah anda mendengar ujaran seperti judul diatas. Kalau saya sendiri jarang mendengarnya meski hakikat ujaran tersebut saya jumpai beberapa waktu lalu dan mungkin saja anda juga pernah menjumpainya juga. Sebuah ujaran yang kadang seperti menampar wajah kita berkali-kali.
Kejadiannya tepat terjadi beberapa waktu yang lalu saat saya sedang mengambil uang di ATM yang letaknya dekat dengan tempat saya bekerja. Tak begitu banyak yang mengantri meski itu awal bulan. Langsung saja saya memasuki ATM satu bilik tanpa perlu menunggu. Alhamdulillah saya sukses melakukan penarikan uang sebesar satu juta rupiah. Uang saya masukkan dompet. Begitupun ATM yang barusan saya gunakan. Namun ketika saya belum benar-benar selesai melakukan transaksi (posisi memasukkan ATM ke dompet) tiba-tiba saja pintu terbuka dan secara tiba-tiba saja seorang lelaki masuk dan langsung melakukan transaksi. Kalaupun ia langsung melakukan transaksi tentu saya tidak begitu mempersoalkan. Kelakuan dia (yang menurut saya tidak sopan) mungkin hanya masalah persepsi saja. Bagi beberapa orang yang tidak belajar sopan santun perilaku seperti itu mungkin tidaklah menjadi masalah. Dan saya memang juga tidak terlalu peduli dengan sopan santun orang lain. Yang membuat saya langsung waspada adalah perilaku anehnya yang meminta saya untuk membantunya melakukan transaksi pengecekan saldo sambil menarik-narik saya. Sontak saya langsung membuka lebar-lebar pintu ATM. Otomatis orang-orang yang tiba-tiba saja ramai di luar (padahal tadinya sepi) ikut membantunya melakukan transaksi pengecekan saldo. Dia bercerita bahwa hendak mengecek apakah transfer dari hasil jualan alat pembesar penisnya sudah masuk atau belum. Dan ternyata saldonya memang belum masuk. Setelah itu saya pun langsung keluar dari ATM. Namun tiba-tiba saja orang tadi yang nyelonong saat saya bertransaksi, yang meminta tolong ke saya, marah-marah kepada saya. Dia bilang kepada saya mengapa saya ketakutan saat dimintai tolong. Sebuah pertanyataan yang sangat konyol. Sayapun menjawab bahwa saya sedang berwaspada. Bukannya memahami rasa takut saya karena sikap nyelonognya, dia malah tambah kemarahan. Dia bilang tersinggung dengan ucapan saya. Pikiran buruk saya malah semakin dalam. Saya pun memutuskan untuk segera pergi. Dia kemudian memberi saya brosur penjualan alat pembesar penis dan menunjukkan nomor telepon yang ada disitu. Dia berujar kalau nomor telepon di brosur tersebut adalah nomor salah satu anggota Polres setempat. Saya terpaksa menerimanya dan segera bergegas pergi. Segera saya masuk mobil dan menguncinya dari dalam. Saya baru menghidupkan mobil setelah saya melihat lelaki tersebut meninggalkan ATM dengan motornya. Saya sendiri merasa ngeri dan juga bingung. Saya ngeri dengan sikapnya yang nyelonong dan menarik-narik tangan saya. Saya bingung dengan sikap saya. Apakah sikap waspada saya itu sebuah kesalahan. Saya yang diperlakukan dengan tidak sopan, saya yang dipaksa membantunya, lantas kenapa juga saya juga yang dimarahi. Saya sebenarnya pun tak akan mengungkapkan alasan kenapa saya membuka pintu ATM lebar-lebar jika dia tidak tiba-tiba memarahi saya. Saya jadi teringat akan sebuah ujaran yang termaktub di awal tulisan saya ini. Buruk muka cermin dibelah. Mungkin dia tidak terima dengan perlakuan saya. Akan tetapi dia lupa (atau malah amnesia) dengan sikapnya sendiri yang terlihat sangat-sangat mencurigakan. Saya sempat berpikir juga, jangan-jangan dia adalah penipu yang sedang gagal aksi. Saya mencoba membuang pikiran buruk itu meski sebenarnya pikiran saya itu sangatlah masuk akal. Sekali lagi saya mereview sikap saya tadi. Benarkah saya paranoid dengan orang-orang dilingkungan saya sendiri. Salahkan kewaspadaan saya itu. Salahkan saya membela diri saat saya dimarah-marahi. Saya sampai saat itu masih benar-benar bingung.
Saya mencoba membuang keresahan saya dengan berselancar di dunia maya. Sebuah sharing berita tentang foto oknum polisi yang berselfie di depan lima mayat residivis kejahatan curas sedang menjadi viral. Lagi-lagi saya seperti mendapatkan sebuah benang merah dari dua kejadian tersebut. Sang oknum kepolisian yang berfoto di depan mayat dan mengunggahnya di sosial media dihujat habis-habisan. Dia dianggap tidak punya empati sedikitpun kepada para tersangka. Dan penghujatnya pun jauh lebih banyak dibandingkan pembelanya. Saya sendiri sebagai seorang awam menyayangkan foto tersebut. Akan tetapi saya tetap tidak bisa mengabaikan respect saya kepada pihak kepolisian yang dengan sigap memburu para penjahat curas itu. Saya tidak habis pikir. Mereka begitu simpati dengan para penjahat namun mereka tidak berfikir bagaimana nasib para korbannya. Sekali lagi ujaran itu terasa sangat pas. Buruk muka cermin dibelah. Siapa yang berbuat kejahatan, siapa yang menjadi pahlawan, siapa yang dibela dan siapa yang dihujat menjadi tidak masuk akal. Penjahat dimanusiakan sebegitu rupa. Orang baik dicela meskipun telah banyak berbuat.
Tak cukup disitu bahkan di dunia politik pun sama juga. Sebuah statement Presiden kita yang mengomentari keriuhan Pilkada DKI dengan mengatakan bahwa Pilkada kali ini adalah tentang memilih pemimpin urusan duniawi bukannya tentang memilih imam menjadi keriuhan yang lebih besar. Sudut pandangnya yang mengatakan perlunya memisahkan politik dari agama menjadi titik tembak yang bisa dibidik dari segala arah. Cibiran atas persepsi datang dari segala arah. Dan sekali lagi perlawanan dari pihak yang tidak sudi memisahkan antara politik dan agama menjadi viral di media sosial. Namun menurut saya, mereka, para pelawan itu melupakan satu hal penting. Mereka tidak konsisten dengan perlawanannya. Justru ketika mereka tidak memisahkan antara politik dengan agama, tentu mereka tidak perlu mengikuti tahapan demokrasi. Saat mereka berpolitik dengan agama maka mereka tidak akan memperlakukan Presiden mereka dengan begitu rupa. Saat mereka berpolitik dengan agama tentu mereka tidak akan menghalalkan segala cara. Saat mereka berpolitik dengan agama tentu mereka tidak akan tamak berebut kuasa. Saat mereka berpolitik dengan agama tentu mereka akan bisa berbuat adil terhadap semuanya. Jika kita telah benar-benar berpolitik dengan agama tentu negara ini akan damai dan makmur. Justru saya malah curiga bahwa sebagian dari mereka itu sedang berpolitik dengan apapun (termasuk agama) asal itu menguntungkan. Tapi sekali lagi itu cuma persepsi saya yang memang masih kebingungan dengan beberapa kepingan adegan kehidupan yang terjadi beberapa waktu lalu. Sekali lagi saya bertambah bingung. Yang bekerja dan berbuat malah dicaci-maki karena perbuatannya. Prestasinya malah diremehkan. Bukannya berlomba-lomba berbuat dan berprestasi yang lebih wah dibanding rival politiknya.
Dan pada akhirnya setelah melewati perenungan yang mendalam saya mendapatkan sebuah titik cerah. Pada prinsipnya kehidupan kita memang sudah seharusnya tentang diri kita sendiri. Kita diberi kuasa oleh Tuhan untuk menjadi apa dan berbuat apa. Tak perlu terlalu banyak mengurusi orang lain. Saya pun berbalik arah untuk lebih memikirkan diri saya sendiri. Mengabadikan pengalaman saya dalam sebuah tulisan. Sekali lagi saya berbisik pada diri saya sendiri. Dari sejak Nabi Adam hingga nanti kiamat kehidupan manusia memang begitu rupa. Ojo Dumeh, Ojo Gumunan, Ojo Kagetan. Biarkan bumi berputar sesuai kehendak Tuhan. Tinggal kamu mau memilih menjadi apa. Menjadi hamba Tuhan yang sibuk beribadah atau malah sibuk mengurusi dapur hamba yang lain. Mulai saat ini saya mencoba untuk tidak lagi gumunan. Untuk tidak lagi kagetan jika melihat hal yang tak masuk akal. Semua juga berkesesuaian dengan Ramalan Jayabaya tentang kondisi akhir zaman. Sing sawenang-wenang rumangsa menang. Sing ngalah rumangsa kabeh salah. Maling wani nantang sing duwe omah. Begal pada ndhugal. Rampok padha keplok-keplok. Wong bener saya thenger-thenger. Wong salah saya bungah-bungah. Begitulah dunia adanya.

                                                                                                                                                                  04 April 2017

Komentar

Postingan Populer